Ini Tanggapan Anggota DJSN terhadap Hasil Kajian PKJS UI

Ini Tanggapan Anggota DJSN terhadap Hasil Kajian PKJS UI

Jakarta - Anggota Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) Tono Rustiano menghadiri diskusi hasil kajian tentang permintaan terhadap manfaat tambahan (Top Up JKN) melalui Asuransi Kesehatan Tambahan (AKT) dan efektifitas koordinasi antar penyelenggara jaminan dalam pemberian manfaat pelayanan kesehatan, Kamis (24/6) secara daring.

Kajian yang dilakukan oleh Pusat Kajian Jaminan Sosial Universitas Indonesia (PKJS-UI) ini bertujuan untuk  mengetahui demand 
atau    minat    peserta jaminan    kesehatan terhadap    manfaat    kesehatan    tambahan yang diselenggarakan   antara   BPJS   Kesehatan   dengan   AKT,   juga   menggali   efektifitas   koordinasi antar penyelenggara jaminan dalam pemberian manfaat pelayanan kesehatan sesuai Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 141 Tahun 2018.

Hasilnya, terdapat  Perusahaan/BU yang sudah  dan belum memberikan  manfaat  tambahan selain manfaat  standar  JKN  kepada para  pekerjanya.

Keterbatasan  finansial  perusahaan  dan tuntutan  kondisi  pandemi  Covid-19 merupakan  hal  utama  yang  membuat  beberapa Perusahaan/BU  belum  memberikan  manfaat  tambahan  dan  memprioritaskan  pemberian manfaat  standar  JKN  kepada  pekerja  sesuai  mandat  UU  SJSN. 

Sementara itu, bagi  Perusahaan/BU  yang  telah  memberikan manfaat  tambahan  (top  up JKN)  kepada  para  pekerjanya sebagai bentu: (1). Komitmen  Perusahaan/BU untuk  memberikan  jaminan  kesehatan  lebih  dari  manfaat standar  yang  terjamin  dalam program JKN; (2). Perusahaan/BU  memiliki kontrak  dengan  pekerjauntuk  memberikan pelayanan  kesehatan  dengan  kelas  perawatan  tertentu; (3).  Perusahaan/BU  merasa ada penurunan kualitas pemberian pelayanan  kesehatan  bila hanya memberikan JKN kepada pekerja,  padahal  sebelumnya  perusahaan  telah  memberikan  asuransi  kesehatan  dengan skema asuransi kesehatan swasta; dan (4). Pelayanan kesehatan di RS untuk peserta JKN dinilai tidak/kurang memadai oleh pekerja.

Adapun pertimbangan yang memicu pemberian manfaat   kesehatan tambahan oleh Perusahaan/BU bagi pekerjanya, antara lain: (1). Waktu tunggu pelayanan dan  kondisi  antrian yang  cukup  panjang;  (2).  Pelayanan  JKN mengharuskan adanya rujukan berjenjang. (3). Faktor kenyamanan  pelayanan JKN yang dinilai  kurang, terutama  bagi  pekerja pada  level/posisi jabatan tertentu  yang  sebelumnya diberikan  jaminan kesehatan dengan  skema  asuransi swasta;  (4).  Masih  adanya  stigma  negatif  terhadap  pelayanan  JKN;  dan  (5) Tersedianya anggaran diluar iuran JKN yang dapat dimanfaatkan Perusahaan untuk premi  asuransi swasta (indemnity).

Sementara manfaat kesehatan tambahan yang dibutuhkan dan diinginkan oleh para pekerja dan perwakilan pemberi kerja/BU adalah Hak kelas perawatan yang lebih tinggi dari manfaat standar JKN, Fleksibilitas dalam memperoleh obat-obatan, Tidak    mengikuti    prosedur Rujukan    Berjenjang, Fleksibilitas  Pemilihan Fasilitas  Kesehatan, Penjaminan  manfaat  tambahan  berupa  penjaminan general  check  up bagi  pekerja yang  didaftarkan Perusahaan/BU  dalam skema iur biaya atau top up melalui AKT.

Koordinasi manfat antar penyelenggara jaminan belum berjalan efektif, dan beban pembiayaan banyak dilimpahkan ke JKN sehingga perlu harmonisasi regulasi atau review manfaat pelayanan medik.

Penghambat koordinasi antar penyelenggara jaminan adalah perbedaan acuan regulasi antar penyelenggara jaminan, belum adanya PKS antara BPJS Kesehatan dan BPJS Ketenagakerjaan, kompetensi dan jumlah dokter yang memiliki keahlian di bidang kesehatan kerja masih terbatas, belum adanya panduan teknis cara menegakkan diagnosis Penyakit Akibat Kerja (PAK), Perbedaan masa berlaku klaim untuk kasus kecelakaan lalu lintas.

Kendala dalam penegakkan PAK berdampak merugikan peserta atau pemberi kerja karena menanggung biaya pada tahap awal, sebelum diagnosa PAK ditegakkan oleh dokter spesialis yang berkompeten di bidang kesehatan kerja. Oleh karena itu kebanyakan faskes atau RS mengklaimkan kepada JKN. 

Dr. Yulita mengatakan dari Hasil kajian tersebut, rekomendasi kebijakan yang kami usulkan adalah AKT harus lebih responsif untuk mengembangkan produk Top Up JKN baik medis maupun non medis, kebijakan yang memunginkan RS dalam split billing untuk manfaat tambahan, regulasi mengenai premi Top Up untuk melindungi masyarakat, regulasi yang membatasi naik kelas hanya satu tingat dapat menyebabkan peserta dan AKT tidak fleksibel dalam memilih Top Up, menyusun pedoman Kecelakaan Kerja (KK) dan PAK, serta membentuk suatu forum koordinasi antar penyelenggara jaminan sosial, jelas yulita.

Menanggapi hal itu, Anggota DJSN Tono Rustiano mengatakan, dari hasil kajian ini menunjukkan bahwa banyak yang harus diperbaiki dalam sistem jaminan sosial nasional dari semua aspek yang berjalan baik antar program, maupun antar badan penyelenggara.

"Namun, untuk menanggapi hal demikian DJSN tidak bisa sendiri dalam merumuskan kebijakan karena tidak mempunyai hak inisiatif untuk membuat regulasi, oleh sebab itu harus melibatkan Kementerian teknis untuk mengeluarkan aturan."

"Menurut saya ini adalah kajian yang komprehensif karena dalam kajian ini menunjukkan memang ada tugas, fungsi dan wewenang DJSN yang harus diperhatikan karena adanya kelemahan dalam regulasi," ujar Anggota DJSN dari Unsur Tokoh dan/ atau Ahli ini.